Senin, 21 September 2015

Last Kiss - Wedding Dress

  Poster by Laykim @ Indo Fanfictions Arts

Chapter sebelumnya >> Last Kiss 1

Pria bermuka pucat itu menunjuk dadanya. Memamerkan kedua alis tipisnya yang naik turun “Maaf, sepertinya kau harus ganti meja karena ini sudah di reservasi atas nama Sehun!”  

Sejenak kupandangi dia dengan tatapan sinis tapi entah mengapa berangsur pulih ketika kuamati alisnya yang naik turun kembali normal. Kemudian ceritaku, pertengkaran antara Kim Sanny dan Sehun dimulai.
Sudah kubilang kan, selalu ada cerita yang terus berulang entah itu orang baru atau orang lama. Cerita soal cinta.

****


Setelah dengan Kris, aku melanjutkan hidupku dengan-Nya. Bukan dengan yang maha kuasa tapi Sehun. Pria baru dengan kisah yang baru.

Penyakit lama Sehun kembali, bukan Sehun namanya jika kamera tak selalu dilehernya. Penampilan acak kadut seenak dirinya. Asal jepret sekenanya tapi tak pernah meleset. Seharusnya dia yang menjadi model tak perlu dia berprofesi menjadi fotografer, apalagi fotografer makanan. Iya, 6 bulan lalu kami bertemu di sebuah café dekat rumah Kris. Jangan ingat soal Kris bukan momen yang pas untuk diingat kembali. Singkatnya, aku sudah lupa mengapa sekarang aku dan Sehun bisa seakrab ini. Aku hanya ingat, Sehun pernah beradu mulut perihal meja yang telah ia pesan, dia bersikeras untuk mempertahankan mejanya itu hanya karena untuk mendapat angle yang pas bagi lensa kameranya. Alih-alih mengusirku dari meja itu , dia hanya tersadar bahwa aku cukup pantas untuk dijadikan objek tambahan pendamping objek utama dia yaitu makanan yang kupesan. Sedikit sakit aku hanya sebagai sampingan, dari situ lah kami mulai berkenalan dan bercerita ini itu hingga sekarang.

“Dimana? Pulang kantor jam berapa?” Suaranya yang berat menguar ditelingaku.

“Kenapa? Ada café baru?” Singkatku.

“Iya, Jam 8 malam ya?”

“Oke”

Kalau ada maunya selalu seperti ini. Kesalku melalui handphone yang sekarang berbunyi tut panjang. Ku kemas barangku, persiapan pulang kantor. Jika kalian mengikuti kisahku sebelumnya kalian pasti sudah paham apa profesiku. Iya, writer. Save draft dan ayo makan-makan bersama Sehun. Senyumku selebar buah semangka yang siap digigit, sangat lebar. Kenapa senyumku begitu lebar setiap kali bertemu dengannya. Lagi-lagi aku harus bergelut dengan adegan-adegan yang mengganggu perasaanku.

Waktu berlalu cepat. Jam 6 kemudian jam 7. Bercermin. Sudah siap menunggu sosok Sehun. Pria dengan wajah kekanak-kanakkan. Berbeda dengan Kris. Tak ada unsur ketegasan dalam dirinya. Lembut dan segalanya begitu cepat. Gerak gerik dan cara bicaranya. Aku suka bermain dengannya, sangat suka hingga lupa waktu. Hampir setiap minggu sekali, dia menjelajah café-café baru, menjajakan beberapa hasil fotonya ke….aku tidak pernah tau sistem bisnis fotografinya seperti apa, yang ku tau wajahku selalu menampang disetiap lembar bingkai fotonya bersama makanan dan minuman yang penataannya mengandung estatika.

Teeettt….suara bel rumahku berbunyi. Tepatnya rumah yang kusewa selama aku bekerja. Sehun sudah berangsur masuk begitu saja, wajahnya tak lepas dari aura cerah.

Welcomeeee” Mengayun-ayunkan kamera uniknya itu.

“Aku yang seharusnya bilang begitu” Ramahku padanya. Aku selalu saja mengijinkan sikapnya yang tak pernah sopan.

“Betapa dirimu sudah sangat sempurna bersanding dengan steak daging yang siap kau santap. Rambut kuncir kuda dipadukan dengan kostum yang…”Sehun berhenti sejenak, menganalisis sesuatu yang tampak seolah-olah salah dimatanya, “sangat sangat biasa. Kenapa tak coba pakai mini dress yang sedikit elegan..jangan terlalu simpel aahh terlalu casual”. Dia mendesah.

“Kau berani bayar aku berapa?” 

“Bayar dengan cinta” Ujarnya genit sembari mengguncangkan tubuhku yang terlewat mungil dihadapannya.

Ahh..sudahlah. aku menggerutu dalam diam.

Bola mataku berputar. Berusaha mengabaikan ocehannya, hanya berusaha tapi tetap saja seruannya membuatku senang. Aku terlalu takut untuk mengakui bahwa aku jatuh cinta lagi. Aku sudah melupakan Kris begitu singkat. Kemudian aku diberi pria baru, tak ingin terlibat lebih jauh tapi dia dengan sangat mulus masuk-masuk ke celah yang lebih dalam dari pada Kris. Aku harus cuek.

****

“Minggu depan aku harus mengajakmu ke suatu tempat”

“Kemana?”

“Survei restoran lagi, untuk ini…” Sehun mengeluarkan sesuatu di sakunya, sebuah kotak mungil yang sangat manis berwarna keemasan. Aku langsung menyadari apa isinya. Kotak cincin itu terbuka sekarang, rasanya aku kesemutan. Kupegang dengan erat sementara Sehun fokus pada kemudi mobilnya. Tak perlu ku gambarkan betapa indahnya cincin itu. Terasa begitu kecil tapi menawan, tipis tapi menyakitkan. Ada cahaya berpendar dibalik ukirannya. Ukiran nama Na Eun. Ini alasan kenapa aku harus menjadi cuek, tak lagi mempertanyakan dan mengusahakan apapun. Kita sebatas rekan. 

“Kapan kalian akan meresmikan?”

“Entahlah 1 bulan lagi mungkin, Na Eun terlalu sibuk…” Ada nada kecewa dalam diri Sehun, teramat sangat berat untuk melanjutkan hubungannya. Hatiku cukup berteriak, maka putuslah sekarang!

“Kau sudah bicara banyak hal soal Na Eun, hubungan kalian hanya terpisah jarak. Sudah hampir 4 tahun kalian lalui apa yang perlu kau cemaskan?” Sanny kau harus tegar, jangan menjadi jahat seperti Kris. Jika iya maka kau sama saja dengan Kris.

Perlu ku lukiskan sosok Na Eun begitu cerdas, wanita sempurna tapi kaku. Kaku untuk bersenang-senang seperti Sehun. Dia tipe wanita karir yang sangat detail akan masa depan. Serius tapi hangat, dewasa tapi penuntut. Mungkin satu kata untuk Na Eun, pemimpin. Tampak kontras dengan Sehun. Anehnya hubungan mereka sudah 4 tahun. 2 bulan sekali mereka bertemu. Aku pernah bertemu dengan nya sekali, kami langsung akrab. Dia percaya padaku seketika, senyumnya masih ku ingat. Senyum keibuan yang membuat Sehun tak pernah bisa tinggal diam mengusahakan hubungan mereka. Begitu juga denganku yang tak pernah tega mengakui bahwa aku mulai menyukai kekasihmu.

“Jika cincin ini tak pernah sampai di jarinya, aku tak pernah tau siapa penggantinya. Mau kah kau…”

“Maka sampaikanlah! Antarkan! Nikahi dia. Done! Hyaaa…kau membuatku frustasi” Aku harus memotong Sehun cepat-cepat sebelum dia mulai membuatku hilang akal. Dia hanya tertawa.

Sampai di restoran yang dituju, aku mulai tenang. Di hadapkan dengan berbagai macam orang yang kelaparan. Kami mulai memesan makanan sesuai kebutuhan kamera Sehun. Selagi menunggu steak yang diidam-idamkan, dia masih mengoceh soal ‘kekurangan’ Na Eun. Betapa Na Eun tak pernah mengerti kesenangan Sehun selama ini. Na Eun tak bisa diajak bersenang-senang, dinner time, photo shoot, melihat konser….

“Setidaknya kami menikmati waktu nonton seperti pasangan lain, nyatanya tak pernah ku dapatkan hingga aku bertemu denganmu, Sanny”

Na Eun. Na Eun dan Na Eun. Aku mulai muak.

“Sepertinya dia tak pernah memikirkanku lagi, menganggap semuanya mengalir. Pria juga butuh kepastian” Dia mulai mendramatisir.

Muncul raut wajah sendu di sudut matanya. Hatiku teriris. Andai saja tak pernah ada Na Eun saat kita bertemu. Aku bisa membuatmu lebih bahagia tapi tidak dengan hatimu sayang. Tidak dengan kebutuhanmu. Semakin kau mengumbar soal Na Eun semakin terkoyak hatiku, semakin aku tau betapa kau mencintainya. Alih-alih membenci tapi kau hanya frustasi, ada rindu terselip dalam dadamu. Kau lampiaskan padaku, yang hanya seperti bayangan. Mencintaimu dari belakang.

“Maka dewasalah, pastikan semuanya baik-baik saja. Ketika pria tak mampu menunggu jangan berharap untuk mencari pengganti sebagai solusinya, tapi kejar dia. Aku hanya meyakini Na Eun di sana juga mengharapkan kedatanganmu membawa cincin itu. Kalian sama sama bimbang” Responku membuat dia terbelalak.

Sejenak Sehun diam, memandangku seperti asing. Menelaah setiap kalimat yang kulontarkan. Aku mendadak takut ketahuan bahwa semua yang kuucapkan tadi hanyalah sia-sia. Nyatanya, masih tersimpan kebohongan dalam diriku.

Steak yang dia pesan datang, masih panas. Asapnya mengepul. 

“Aku lapar, selesaikan jepretanmu lalu kita menyantapnya dan pulang” Aku membujuknya, membuatnya sedikit teralihkan “Minggu depan tak hanya restoran romantis untuk Na Eun tapi kita bisa ke rumah gaun untuk memberikannya sedikit kejutan. Aku punya banyak link untuk memilihkan gaun mana yang tepat untuk upacara pernikahan kalian” Aku menawarnya lagi, memaksakan hal-hal yang membuatku semakin terkoyak.

Sehun mengangguk pasrah, seketika handphoneku berdering.

“Hallo? Hei…apa kabar? Kau sudah lama tak menghubungiku. Mungkin sejak 5 tahun yang lalu” Senyum ku berdesir renyah tepat di depan Sehun yang sibuk menuang saus barbeque di atas steakku. Kutangkap lirikan matanya sesekali ke arahku saat aku merespon panggilan telpon.

“Iyaaa…tentu saja. Oh ya? Mungkin kita harus bertemu untuk saling bercerita” Aku berlama-lama.

“Siapa?” Sehun dengan tatapan penasaran bertanya setelah kuakhiri telponku.

“Teman lama, masa lalu…ah jangan diingat”

“Kris?”

“Bukan”

“Dia tidak pernah menghubungimu lagi?” Kini Sehun seolah-olah menyibukkan diri dengan settingan kameranya.

“Tidak, ehmm…sekitar 1 bulan yang lalu. Dia menanyakan kabarku, kukatakan aku baik baik dan aku tidak merespon dia kembali” Aku mengulum senyum masam "..yang tadi itu Kai, teman sekolahku dulu"

Sehun menatap mataku begitu dalam, memikirkan sesuatu.

“Cemburu?”

“Iya”

Rasanya seperti melambung.

****

Aku hanya menyadari bahwa hidup terus berputar, I’m still 23 dan akan banyak kisah yang harus kujelajahi sebelum menemukan satu yang paling tepat di antara sekian macam drama percintaan. Itu hanya pikiran logika, tapi logikaku selalu dikalahkan oleh perasaan yang terlalu menggebu. Kutampar wajahku pelan-pelan. Sadarlah, Sehun akan segera menikah dan kau tak mungkin menghalanginya, dengan mengedepankan egomu untuk merebut wanita yang keibuan seperti Na Eun. Meskipun Sehun mulai membuka hatinya padaku. Aku mulai mengacak-acak rambutku geram di depan cermin setinggi 2 meter dalam kamarku, kemudian melompat kaget saat Sehun menerjang masuk seperti rumahnya sendiri.

“Kau harus belajar memahami apa itu ‘mengetuk pintu’ boy!” 

Ada yang menunda kedatangan kami ke rumah gaun. Baru terlaksana 1 bulan kemudian. Bukan ada yang menunda tapi akulah yang tak pernah mampu membawanya ke rumah itu. Maaf Na Eun aku egois. Benar, aku mencintai kekasihmu. Selama 1 bulan kemarin, tiap minggunya aku hanya berputar-putar menikmati kesenangan sementara, hatiku tak pernah bisa kukendalikan. Kami hanya saling mengulur-ulur perasaan. Mendalami hal yang tak seharusnya. Aku yang selalu menyokong Sehun, menikmati keinginannya. Tapi percayalah Na Eun dia masih membutuhkanmu. Aku akan mundur.

“Kenapa kau sebut rumah gaun?” tanya Sehun penasaran.

“Karena ini tempat yang membahagiakan untuk para wanita. Wanita mana yang tak bahagia jika pria idamannya, menggandengnya masuk ke ruangan penuh dengan gaun pernikahan” 

Hanya aku wanita satu-satunya yang tak bahagia melihat realita ini.

Saat itu, entah apa yang merasuki Sehun. Dia tidak seperti biasanya. Ada yang masih menyelimuti pikiran dan hatinya. Kami berkelana mencari gaun yang cocok untuk Na Eun. Sejenak mengubur perasaan masing-masing. Kupilah-pilah kain-kain yang menjuntai itu, renda, warna cream, payet, bordir, mengembang, mataku tak bisa menahan ada rasa aneh yang menciut. Tak ada satu kata yang pas kecuali SAKRAL. Pernikahan adalah hal yang sakral. Semakin aku memegang banda-benda berunsur cinta semakin aku geram. Aku harus dipaksa melihatnya tak pernah bersanding denganku. Setiap hari diberondong pertanyaan ‘kenapa Tuhan tak pernah adil’. Air mataku menetes.
Kris lalu Sehun.

Ada yang mendekapku dari belakang. Sehun seolah merasakan kepedihanku. Tubuhnya begitu hangat seolah-olah kita pasangan yang akan menikah kemudian bertengkar perkara gaun pernikahan, lucu sekali. 

“Aku tidak akan mempercepat pernikahan jika akan ada yang merasa kehilangan”

Detik itu juga aku terhenyak, bibirku ingin berkata jujur bahwa akulah wanita yang harus kau nikahi bukan dia “Kau bicara apa?” tapi nyatanya tak pernah sama.

Mungkin ini yang namanya tak berjodoh. Ketika hati kecilmu mampu memberontak bahwa yang kau lakukan selama ini adalah salah dan berangsur-angsur menyakitimu, maka di titik itulah kau harus berhenti mengikuti egomu. Ego yang selalu membuatmu terlena. Memaksakan yang seharusnya tak dipaksakan. 

“Kau harus menikahi Na Eun secepatnya” Ada ketegasan dalam diriku. Kali ini aku memang harus melepasnya.

****

Di sebuah ruangan kami dipertemukan tanpa Na Eun. Iya, hanya kami berdua. Dia mengenakan tuxedo putih, sangat tampan. Aku hanya bagian terkecil dalam hidupnya, duri yang mengganjal pada hubungan 4, 5 tahunnya dengan Na Eun. Pipiku memerah, menatapnya seperti aku hampir tak kuasa. Gemetar.

Ku peluk Sehun dengan sangat mantap “Akhirnya kau sudah menikahi, Na Eun” Air mataku menderu seketika. Menyaksikan setiap prosesi pernikahan. Merekam senyuman Na Eun kala itu, manis sekali. Lebih dari itu, Na Eun beruntung mendapatkannya, pria seperti Sehun. Ciuman tanda resmi menikah mengakhiri rasaku. Sehun dan Na Eun berciuman tepat di depan mataku.

“Kau yang memberiku jalan untuk menikah dengan Na Eun”

“Iya, memang itu seharusnya, seperti dulu ku bilang segala kebutuhanmu terpenuhi dengan Na Eun. Bukan hanya kasih sayang tapi segalanya. Kau harus berusaha menekan egomu, kau sudah menikah sekarang” Semakin erat dekapanku, tangisanku pula semakin menjadi-jadi.

“Andai saat itu kau memberiku celah, aku mungkin akan memperjuangkanmu” terselip rasa perih pada suara Sehun.

“Hei, memang sejak awal kita tak pernah berjodoh. Kita rekan bukan” Kuusap air mataku. Ku tepuk pundak pria ini. Mendengar kalimatnya aku tak pernah sanggup. Berusaha membesarkan hatiku. Menghentikan nafsu untuk memilikimu. “Jika kita bersama dengan segala kesamaan kita, jalan-jalan, bersenang-senang, suatu saat kita akan bosan. Sedangkan kau dan Na Eun kalian akan berjalan inline dengan perbedaan kalian”.

Aku mencintaimu tapi tak harus bersama denganmu. Inilah kenyataannya. Lagi-lagi aku harus mengorbankan perasaanku “Kita masih bisa menjelajah café-café itu, tenanglah ini bukan akhir dari segalanya, kau tau di mana aku tinggal, kau bisa menghubungiku sewaktu-waktu, aku bisa bercerita padamu apapun. Na Eun tak pernah gusar. Aku yakin itu”

Ekspresi Sehun mulai melunak, mengiklaskan segalanya. Aku yakin pria seperti dia akan segera pulih. Lalu kutinggalkan dia dalam keadaan senyum terpaksa. Mendatangi Na Eun yang masih memegang buket bunga mawar. Menyapaku tampak elegan berbalut busana putih polos dengan sentuhan payet keemasan dibeberapa bagian. Aku berbisik padanya satu kalimat “Jangan pernah kau tinggalkan dia atau kau akan menyesal”

“Aku tau kau bisa diandalkan, Sanny” 

Mata Na Eun berangsur sendu, seakan memahami perasaanku. Kami sama-sama wanita, yang memberi kasih sayang. Lantas kami saling berlinang air mata dalam satu kali pelukan panjang.

****

Aku membaca kembali setiap tulisan yang tertera pada satu kolom penuh gambar renda-renda. Manis sekali. Aku tersenyum memandang undangan itu. Terpampang jelas ada nama Sehun dan Na Eun. Sekejap, Kai menekan tombol on pada radio mobilnya. 

Never should've let you go
Never found myself at home
…….
You were like my beating heart
That I, I can't control
Even though weve grown apart
My brain cant seem to let you go


Thinking back to the old times
When you kept me up late at night
We use to mess around
Laugh and play, fuss and fight
……..
I guess its too late, Im dancing this dance alone
This chapters done, the story goes on


Kenapa harus lagu ini, Wedding Dress milik Taeyang ya. Membuat suasana makin keruh.

Can't believe that you are not with me
'Cause you should be my lady
All I want is to set your heart free

But if you believe that you belong with him


Promise me, you wont let anyone hurt you

Remember, I will always be here for you
Even if it kills me to see you

In that wedding dress

Oh see you in that wedding dress


Meskipun lagu ini menggambarkan si prialah yang ditinggal menikah tapi rasanya sama. Sama sama pedih.

“Terima kasih ya sudah cukup lelah mengantarku hingga pesta pernikahan. Tak pernah menyangka kita bisa bertemu kembali tapi dipesta pernikahan seperti ini hehe” Aku tersenyum pada Kai.

“Make upmu benar-benar kacau, setelah ditinggal menikah” Kai dengan suara terdalamnya seolah-olah memahami bahwa perasaanku nyatanya sidah kandas.

“Sudahlah, kita bahas hal lainnya. Apa rasanya setelah wajib militer?”

Ckiiitttt…. Mendadak Kai mengerem mobilnya. Ku tengok jendela. Ada taman di sebelahku. Sepi, pepohonan begitu rindang. Sinar matahari sore masih asyik untuk diajak bermain. Tangan Kai meraih gagang pintu mobilnya. Dia turun dalam diam. Berputar mengelilingi mobilnya, membuka pintuku. Menyuruhku keluar.

“Ada apa? Kau ingin jalan-jalan di taman?”

“Aku memang bagian dalam kemiliteran sekarang” Dia meraih tanganku, melempar undangan yang sepertinya membuatnya muak ke bangku belakang. Kami mulai melangkah di trotoar taman, mencari tempat duduk yang nyaman.

“Hahahahaaaa….. sejak kapan kau masuk dan menjadi seorang angkatan. Pantas kau hitam sekarang. Ingat, waktu jaman kita sekolah? Kau tak pernah se-laki-laki ini” Tawaku lepas. Kai hanya memberikan senyum malunya saat itu.

Tuhan, aku mohon hentikan pertemuan-pertemuan lain yang hanya membuatku terluka.

by : Indah

Inspirated by : 50% drama, 20% friend, 10% EXO, 10% Taeyang, 10% Toilet

Note : Jangan sampe gue ditinggal nikah beneran >.< ini cuma cerita ya allah*






Tidak ada komentar:

Posting Komentar