Minggu, 06 September 2015

Last Kiss - Not in That Way

Poster by Laykim @ Indo Fanfictions Art



Rambutku sudah bau matahari sejak sejam yang lalu. Melewati beberapa blok rumah yang  tampak asing bagiku. Mencari alamat palsu mungkin. Jengkelku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang sembari mengingat paksaan keras Ibuku yang menyuruhku merantau untuk mencari pekerjaan.

‘Sudah pergi saja ke kota selama 1 bulan penuh, ingat lamar kerja sebanyak-banyaknya. Nanti menginaplah di rumah teman ibu. Ini alamatnya. Dia tinggal sendirian. Kamu jangan merepotkan dia. Kamu boleh tinggal di sana selama 1 bulan. Kalau sudah kamu boleh pulang’

Finally, aku terampar di sini. Kota yang tak pernah lagi kutempati selama 5 tahun belakangan. Tak apa hanya sebulan. Tak akan ada hal hal yang mencurigakan di sini. Pikirku tenang. Belum kutelan semua ketenanganku, mata ini sudah tertuju pada rumah berpagar hitam, tercantum kombinasi angka dan huruf di sudut tembok pagar. B-20. Ah rumah ini yang ku cari. Sudah kepanasan, langsung saja kupencet belnya. 

Tak perlu menunggu lama, ada suara langkah kaki yang kudengar dari dalam. Aku mundur. Ada jambul rambut yang terlihat dari atas pagar. Dia tinggi. Pintu pagar mulai berderak, tergeser dan terbuka selebar tangan pria itu membentang. Terlihat wajahnya jelas. Dari atas sampai bawah. Folder dengan nama anak ingusan menguar begitu saja, tumpah memenuhi dinding ingatan. Melompat-lompat membentuk potongan memori yang pernah ada. Kami pernah bermain bersama walau hanya sebentar. Aku sibuk memasak potongan daun pisang dan kamu sibuk menjadi pedagang asongan daun kelapa. Kita pernah naik perahu di sungai belakang rumah kakekku. Kamu pernah berdarah-darah terkena bambu, aku hanya diam saja. Memalukan memang, saat kita pernah mandi bersama di satu tempat kamar mandi yang sama. Sore hari setelah bermain. Telanjang…

Dan…..Kris? Kumohon kamu sudah sebesar ini sekarang.

Pikiranku mulai terisi dengan hal hal yang membekukan. Pipiku mulai keluar semburat kemerahan. Tak pernah sadar bahwa aku hanya tertegun memandangnya sambil menikmati ingatan masa lalu. Kini tak ada satu katapun yang saling terucap. Aku menunggunya, mulutnya mulai terbuka.

 “Kim Sanny?” Tanya Kris dengan suara beratnya.

Dia tau namaku. Ingatannya lebih kuat. Dia pemalukah? Atau justru sebaliknya.

“Iya, betul” Aku menjawab seperlunya.

****

Di hari pertama aku diam saja, tunggu bukan diam saja, aku memperhatikan dan berbicara. Banyak hal. Ada sesuatu yang mendorongku terlalu banyak bicara dengannya. Sudah biasa ku lakukan, ketika berhadapan dengan orang baru setidaknya orang yang pernah ada dalam hidupku dulu. Dia pernah ada, jadi tak perlu lagi aku mengkakukan diriku. Cukup pertanyaan basa basi di awal, lalu semuanya lancar. Aku suka mendominasi di awal hubungan dengan duduk manis dan biarkan mulutku berbicara.

Itu yang kulakukan tapi nyatanya caraku ini tak pernah mempan dengan Kris. Kurasakan ada yang berbeda. Aku menggunakan mulutku untuk beramah-tamah tapi dia selalu menggunakan sentuhan and he treat me like a lady. Yup, aku berhadapan dengan player selama 1 bulan. 

“Tak perlu kujelaskan, kamu sudah tau aku tinggal sendiri, kamu bisa tidur dimana saja atau mungkin lebih memilih tidur bersamaku” Senyuman nakalnya mulai menyeringai padaku. Dia mendekat menaruh secangkir teh hangat. Begitu dekat hingga bisa kucium bau parfum maskulinnya, hidungku hampir ikut terbawa. Aku hanya menelan ludah, mencoba menenangkan hal-hal yang berbau seksual pada pikiranku. Well, mungkin aku harus berbicara tentang rencanaku ke depan.

“Jadi, ehem…rencanaku simpel. Aku sementara menjadi copywriter di salah satu web online, aku hanya butuh wifi dan secangkir kopi tiap harinya…”

“Di rumah ada wifi…” sahutnya.

“…dan tiap hari sabtu aku mengikuti semacam walk interview untuk 3 minggu dalam bulan ini. Setelah satu bulan berakhir aku akan segera pulang… ”

“Benefit yang kudapat?”

Ah..dia mulai bercanda.

“Apa? Emmm…ya aku bisa membantumu membereskan rumah atau sekedar membuatkanmu sarapan, makan siang dan makam malam?” 

Aku hanya, antara tersedak dan bingung akan menjawab apa. Lantas dia tersenyum, menatap mataku bulat-bulat. Tak ada rona di wajahnya saat memandang wanita, aku seperti merasakan hawa dingin menelanjangiku. Dia hanya butuh mengangkat alisnya “Oke, sayang”. Tangannya sudah berselancar di sela-sela rambutku. Damn, I love this man.  

****

Sejak saat itu, aku dan Kris semakin terasa dekat bukan lagi dekat tapi kita mulai tinggal satu atap. Dia pendengar yang baik, kami melakukan hal hal normal seperti pasangan kebanyakan. Pasangan? Tunggu itu meluncur begitu saja dalam mulutku tapi dia memperlakukanku seperti aku miliknya. Mungkin aku terbawa perasaan karena aku sudah lama sendirian dan bertemulah dengan pria ini, yang aku tak pernah tau sejarah bercintanya, dia seperti menyayangiku, menyayangiku? ah keluar lagi kata-kata yang tak pernah kuharapkan. Harus aku contohkan apa saja yang kami lakukan dalam satu atap itu.

Contohnya kami berbincang-bincang itu sudah jelas, sambil menonton TV yang tidak pernah kami tonton TVnya. TV hanya menyala dan kami sibuk berdua. Membicarakan hal-hal masa lalu yang pernah kita lakukan. Mengingat apa saja yang kita ingat, tapi semestinya itu tidaklah terjadi karena pada akhirnya kita juga akan saling menyakiti.

“Dulu, wajahmu tak pernah sedewasa ini…” Kepalaku sudah tergeletak tepat di depan TV.

“Banyak hal telah terjadi dan berubah…”. Tangan Kris sudah membentangkan alas tidur, mengusirku halus dengan kode gerak jari-jarinya yang  putih seperti porselen. Malam itu tak sedingin biasanya. Aku harap malam-malam berikutnya tak sedingin ini. Aku membantunya menyelaraskan alat tidur sepaket dengan selimut yang siap menghangatkan……aku hening. Tubuh Kris mendadak terhenyak di atas alas tidur itu, santai, sambil memegang remote TV kemudian mematikannya. Menatapku sewajarnya kemudian menata bantal kosong di sebelahnya dengan sangat tidak manusiawi seakan itu hal yang tidak dibuat-buat olehnya. WAJAR dan NORMAL.

“Sudah malam, besok kerja”

Jantungku rasanya ingin lompat. Kutata kembali kesadaranku dalam sebuah kata-kata yang bisa menenangkan desir jantungku yang semakin cepat. Oke, kamu tadi membantunya menyelaraskan alat tidur sepaket dengan selimut yang siap menghangatkan……mungkin jawabannya adalah tubuh kita berdua. Oh shit.

Sudah cukup ilmu kebatinan ini bersahutan, mungkin aku terlalu terbawa perasaan. Itu hal yang wajar, hanya berdampingan tak kan terjadi apa-apa. Dia berbuat mesum? Haha kurasa memang sudah ciri khasnya. Lihat saja tampang bad boy, attitute sudah level dewa apa lagi kalau bukan player. Tak ada bedanya aku dengan wanita lain, yang perlu kamu sadari itu, Sunny!!. Hanya perlu adaptasi, tak perlu munafik pada dirimu sendiri. Don’t be so hard to yourself, ikuti saja permainannya. Apa lagi yang bisa kamu perbuat jika tidak menikmati bentuk dosa terindah dengannya?. Done!.

Akhirnya dengan mencoba sewajarnya, aku berbaring di sebelahnya. Mengalir tanpa perduli hal-hal yang bertentangan. Apa rasa jantungmu setelah kamu berbaring di sebelahnya? Lebih tenang, nyaman dan lebih hangat daripada sekedar berspekulasi dengan pikiranku sendiri. 

“Aku tak pernah merasa senyaman ini sebelumnya” bisikku pelan pada Kris. Mata Kris terpejam tapi aku yakin dia masih belum terlelap.

“Apa?” Sahutnya dengan mata masih terpejam.

Aku harus berbohong “..be-sok si-ang ingin ma-kan a-pa?”

Makhluk itu menyeringai dalam diam, dia pasti tak percaya masakanku besok.

“Aku tak akan protes” Jawabnya singkat “Aku juga tak pernah merasa senyaman ini ketika tidur”

Kill me right now!
 
“Kamu merasakan ada hal aneh di antara kita?” Ku coba bertanya.

“Iya”

“Apa?”

“Aku memperlakukanmu seperti kekasihku sendiri”

Kill me twice!

****

Hari demi hari berganti, yang dalam sekarang lebih dalam. Dia bekerja, aku sibuk menjadi copywriter saat siang hari dia datang dijam istirahat hanya untuk menikmati masakanku. Tak perlu lagi kujelaskan alasan mengapa aku dengan tulus memberinya apapun, perhatian, perilaku sebaik-baiknya saat itu, bersifat sementara ataupun selamanya, mata hatiku tertutup untuk kecemasan lain terlebih jika aku harus patah nantinya. Saat ini yang kupahami adalah mengalir mengikuti kata hatiku. Berjalan sejalan dengan permainan darinya. Cinta dan kehadiran yang nyata dari Kris. Sosok yang selama ini hanya kutuliskan dalam sebuah blog pribadi belaka. Sosok yang selalu kuidamkan dan hanya tertuang melalui imaji cerita wanita berpikiran liar sepertiku. Dia menjadi yang terspesial diantara laki-laki lain. NYATA. 

“Sayang?” Kris memanggilku seenak hatinya dan aku seperti tak pernah menolak.

“Iya?” Singkatku.

 Tak pernah kualihkan pandanganku selain dia. Ujung rambutnya, bentuk mukanya yang tegas, ada sedikit keringat menetes di dahinya. Mungkin masakanku terlalu pedas baginya. Spontan kuusap dahinya dengan tanganku penuh perhatian. Im sick of you. Masih memperhatikan dia yang sedang meneguk segelas air yang mulai turun membasahi kerongkongan keringnya. Dia memakai kemeja jins yang paling kusuka, simpel memperlihatkan betapa jenjang lehernya. Tersambung dengan dada bidang yang paling hangat yang pernah kupeluk setiap malam. 

Baiklah aku mengaku, kini kita berdua sudah mulai berani berpelukan dalam hangatnya selimut tiap malam. Aku merasakan betapa desah nafasnya begitu dekat dengan urat leherku. Walaupun aku seperti mati suri saat tertidur, sebelum aku terlelap aku selalu memberikan waktu luangku setidaknya 10 menit untuk memuaskan mata, hidung dan jariku. 

Mata untuk melihat setiap jengkal dirinya yang tak ada jarak denganku. Hidung untuk mencium aroma tubuhnya tanpa parfum ataupun dengan parfum yang paling menjadi penantian lubang hidungku, sungguh ironi. Walaupun hanya sesekali aku menjadikan diriku seperti anjing yang suka mengendus-endus sesuatu, nyatanya aku melakukan itu. Iya, kuakui aku selalu penasaran, aku memiliki rasa lebih terhadap dirinya. Dan yang terakhir, jariku sesekali memainkan rambutnya yang tebal, turun merayapi alis matanya yang lucu menurutku, lebih turun menyentuh bibirnya yang kenyal. Dia tertidur, aku yakin dia tidak merasakan hal itu. Aku seperti orang bodoh saja, jika dia tau mungkin dia akan membenciku. Kemudian aku tersenyum tipis-tipis dan memulai untuk bermimpi. Seperti itu setiap malamnya.

“Masakanmu enak, terima kasih” 

“Enak seperti apa?” Tanyaku.

“Aku tak protes. Ketika aku tidak protes maka segalanya berjalan baik”. Kris menunjukkan senyum termanis yang pernah kulihat. When you smiled and all i could think was 'Oh shit.

Mungkinkan dia merasakan hal yang sama? Tak ku tanyakan hal itu sekarang, mungkin nanti jika kita benar-benar terlalu dalam. Atau mungkin setelah terjadi insiden. Iya insiden yang menegaskan bahwa kita sudah di luar jalur sekedar bermain sayang tanpa komitmen. Insiden itu cukup singkat tapi mendalam. 

Kita merasa ketika satu pelukan tak cukup untuk mengekspresikan seluruh rasa cinta maka kita mencoba duduk manis, awalnya hanya duduk manis. Cukup menonton TV. Sekedar curi-curi pandang. Mata Kris memang yang paling kutunggu-tunggu. Saling pandang dan bertemu. Ada sebuah daya tarik yang tak pernah kutau itu daya apa. Daya magnet tapi tak sekuat itu. Semua berjalan apa adanya.

Kris menciumku, mencium seorang Kim Sanny. Gadis copywriter, berambut panjang bergelombang, dan bermuka kusam. Begitu dalam, pekat hingga dapat kurasakan giginya bergemeretak saat dia mulai menggit bibir bawahku. Lidah kami saling bergemuruh di dalam. Auranya menjadi panas. Hambar, rasanya hambar karena bibirnya hanya sekumpul daging kenyal yang kukecup begitu lembut tapi memabukkan. Candu. 

 ****

Aku tau ini tak berjalan baik, awal dari kesenangan kami juga menjadi akhir dari segalanya. Tak butuh waktu lama. Aku mendapat tawaran untuk bekerja menjadi writer di salah satu situs online yang lebih besar dibandingkan yang sekarang. Aku menerimanya. Statusku dobel writer. Tak menyangka hobiku menjadi sebuah pekerjaan yang bukan hanya sampingan di rumah tapi sekarang kantoran. Otomatis aku harus segera pindah dari kesenanganku, dari rumah cinta seorang Kris. Teman kecilku sekaligus Sang penghibur relung hatiku. Berat. 

“Sayang, aku mendapat kerja di kantor X salah satu situs online, aku tak bisa bertahan lama di sini”

“Iya, tak apa” Singkatnya sembari membetulkan dasi pada kemeja garis-garisnya.

“Kita akan jarang ketemu, aku akan merindukan ini semua”

“Sering-sering datang kemari” Menatapku sekilas kemudian berlalu pergi.

Detik itu, aku merasa ada yang sepihak. Iya, bertepuk sebelah. Ini bukan cinta. Kuingat kembali kita tanpa komitmen lalu kutambah lagi kalimatnya. Tanpa komitmen memang bukan cinta namanya. Apalagi tak ada yang saling berjuang. 

“Datanglah kekantorku nanti” Sedikit nada penekanan kuperjelas.

“Iya, jika tidak sibuk”

I know you are the best player!

Aku membuntutinya dari belakang “Kamu tidak merindukan aku?” 

“Rindu”

“Terus?”

“Jalani saja dulu”

Its over beb..

****

Aku pindah dari rumah itu, aku kembali ke rumahku sendiri menceritakan pekerjaan baruku. Ada rasa semangat baru dalam hidupku dan rasa percayaku terhadap Kris tapi nyatanya begitu rumit. Semenjak setelah aku bekerja, hubungan kita hanya melalui handphone sekedar chat pribadi, awalnya berjalan baik tapi tanpa kusadari intensitas kami mulai menurun. Hingga tak terdengar kabar dari Kris. Kenapa aku masih mempercayainya? Semua kenyataan ini berjalan terbalik, kamu seharusnya sadar bahwa sejak awal dia bukan pejuangmu atau kamu terlalu bodoh untuk mengikuti hawa nafsumu? 

Rentetan komentar pedas dari hatiku memberondong tiada henti. Berhari-hari aku memikirkan Kris. Memikirkan laki-laki yang sudah tak pernah menghubungiku kembali. Hingga aku tak cukup berani untuk menyapanya lagi walau kita tau hanya butuh satu klik untuk bertanya “sedang apa?”. Kuputuskan untuk kembali ke rumahnya sekedar memantapkan hatiku. Meminta kejelasan atas apa yang sebenarnya terjadi. Karena 1 bulan di rumahmu sudah sangat memabukkan.

****

Sampai di rumahnya, ada suara tawa renyah mengusik telingaku. Aku tau itu Kris, Kris menyadari kedatanganku. Menyuruhku masuk seolah memaksaku melihat kenyataan bahwa dia bersama perempuan lain. Kupaksa tanganku meraih tangan gadis itu, cantik memang, sangat cocok dengan Kris. Kami berkenalan. 

“Aiko” ujarnya sangat feminim. Keturunan Jepang. Aiko tersenyum sambil tersipu malu “Aku kekasih baru Kris”.

Yep, tanpa penjelasan dan aku tak harus kembali bertanya pada Kris apa maksudnya, karena bukan salah siapapun atas kejadian 1 bulan belakangan. Hanya aku yang mahabodoh mempercayainya. Cinta memang tak butuh alasan tapi cinta memang butuh komitmen. Salah satu hal yang menjadi pelajaran, agar tak pernah lagi ada rasa sakit. Ah aku ingat salah satu quote, terucap lantang dari salah satu teman kuliahku dulu.

Without commitment its not a relationship. Maybe its not even love, its just “lets play until one of us gets bored”

Kadang yang terspesiallah yang mampu mengecewakan.

“Hai….” Aku mencoba mengatur nafas yang memburu di dadaku, air mata yang mulai naik kepelupuk tapi harus ku tahan karena Kris sudah di depanku sekarang. Hampir-hampir mencegahku pulang tapi aku harus pergi “emmm mungkin ini jawaban kenapa kamu hilang belakangan ini, 1 bulan lalu aku terbawa perasaan. Momen itu sangat berkesan buatku…tapi ketika kamu memutuskan untuk seperti ini, aku bisa apa? Kamu sudah sayang dengan dia. Percuma aku memaksa, bertanya atau sekedar marah karena hatimu sudah jatuh padanya” Masih kucoba untuk tersenyum di depan wajahnya yang rupawan. Lihat, sudah seperti ini masih saja aku memujinya. Kapan aku berhenti untuk menjadi wanita bodoh!.

“Hmmm….sekarang apa yang kamu mau?”

“Tidak ada, tapi satu hal..mencintaimu adalah satu hal yang sangat tulus ku berikan. Namun jika kamu anggap sebagai permainan. AKu ingin permainan ini berakhir” Ucapanku mulai terbata-bata “Tak pernah kusesali itu, segala bentuk perhatianmu dan hal-hal yang pernah kita lalui bersama meski singkat. Bahagialah dengan jalanmu yang sekarang sayang. Aku baik-baik saja”

Aku seakan tak percaya kita berakhir seperti ini sayang.

Seketika, aku merasa mulai membelakanginya. Tak pernah kutengok lagi wajahnya. Pria bergolongan darah A yang pernah menyejukkan hatiku. Hatiku sakit sayang. Perih. Berjalan meninggalkan hal yang seharusnya, menjauhi hal yang sejak awal kujauhi. Sakit tapi juga merasa lega. Ada hal yang telah kulepaskan, pertanyaan hatiku sudah terjawab. Aku kembali tersenyum, menghirup udara banyak-banyak. Berusaha mengisi paru-paruku. Aku harus pulih. Tak sadar aku sudah memesan banyak makanan dan minuman di sebuah café dekat rumah Kris. Ah..ternyata patah hati itu membuat kita tak pernah berjalan lurus.

****

Makanan, minuman sudah tersedia semua di meja. Aku girang bukan main, kuhirup aroma cake, kopi, jus, mini pizza segalanya. Menenggelamkan perasaan amarah bercampur rasa aku baik baik saja. Aku yakin akan ada cerita baru yang akan segera di mulai. Headset sudah terpasang ditelinga, alunan music Taylor Swift berjudul Last Kiss berputar ditelingaku berlanjut Sam smith- Not In That Way.

And I hate to say I love you
When it’s so hard for me
……
I’d never ask you ‘cause deep down I’m certain I know what you’d say
You’d say, “Im sorry, believe me, I love you but not in that way

Lagu itu benar-benar menunjang kondisiku saat ini. Lantas mau apa selain kunikmati? Kuraih jusku dengan sekali pegangan kuteguk sepuasnya. Ada bayangan tinggi tepat diwajahku membuat mataku menyipit saat sedang minum jus. Kris?
Oh..ternyata bukan.

Pria bermuka pucat itu menunjuk dadanya. Memamerkan kedua alis tipisnya yang naik turun “Maaf, sepertinya kamu harus ganti meja karena ini sudah di reservasi atas nama Sehun!”  

Sejenak kupandangi dia dengan tatapan sinis tapi entah mengapa berangsur pulih ketika kuamati alisnya yang naik turun kembali normal. Kemudian ceritaku, pertengkaran antara Kim Sanny dan Sehun dimulai.

Sudah kubilang kan, selalu ada cerita yang terus berulang entah itu orang baru atau orang lama. Cerita soal cinta.

The End

By : Indah
Inspirated by : 50% mirror experience, 10% drama, 10% friend, 10% Taylor Swift, 10% Sam Smith, 10% Toilet.
Note : 
Ini One shot tapi kayak bukan One shot pasti ada cerita selanjutnya :D















Tidak ada komentar:

Posting Komentar